Publik mudah menangkap siapa aktor politik yang dimaksud Jokowi sebagai penunggang aksi, tanpa harus disebut. Tak perlu ber-IQ tinggi untuk mampu membaca mengapa ''tinggal'' SBY yang tak jua diajak minum teh di beranda istana.
Menjelang dua tahun pemerintahan pascapelantikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat banyak durian runtuh. Kepuasan publik mencapai rekor tertinggi hingga 68%, elektabilitas sebagai calon Presiden jika pemilu diadakan pada saat survei juga membumbung tinggi (Indikator, Agustus 2016). Presiden Jokowi juga sukses mengubah peta di tingkat elite dari koalisi minimalis menjadi maksimalis dengan dukungan 69% kursi di parlemen.
Siapa sangka, dalam hitungan singkat, terjadi peristiwa luar biasa yang potensial menggerus dukungan massa ke Jokowi. Awalnya dari keseleo lidah seorang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta yg dikenal sebagai sohib Jokowi. Aksi-aksi massa dalam jumlah jumbo terlihat hanya menjadikan Ahok sebagai sasaran antara. Jokowi mulai terkena getah akibat kemarahan publik terhadap Ahok.
Instabilitas politik dalam beberapa pekan terakhir potensial menurunkan approval rating Jokowi. Tujuan besarnya memang ''sekadar'' melemahkan political personal Jokowi, bukan menjatuhkannya. Mereka yang terlintas menggulingkan pemerintah itu bagaikan bermimpi di siang bolong. Secara politik Jokowi masih kuat. TNI dan polisi, secara umum, masih sangat loyal. Selain itu, ide penggulingan Presiden juga tak mendapat dukungan publik secara memadai.
Jika upaya melemahkan (making a dent) Jokowi berhasil, citra beliau pada 2019 bisa jadi tak sementereng sekarang. Pemilu 2019 akan lebih kompetitif, dan partai-partai tidak semuanya sudi mengantri dukungan padanya. Jika approval rating turun, elektabilitas partai-partai pendukung Jokowi, terutama PDI-P dan Golkar, bisa saja terkena dampaknya. Ingat, pemilu legislatif dan presiden diadakan secara serempak, sehingga memungkinkan coattail effect punya pengaruh lebih kuat terhadap partai yang mengusung seorang capres.
Uniknya lagi, upaya semacam ini tidak dilakukan di parlemen, melainkan justru melalui politik mobokrasi. Ini bisa dimaklumi karena hampir mustahil menggoyang Jokowi di parlemen pada saat dukungan politik formal mencapai lebih dari dua pertiga kursi di DPR. Pada saat yang sama, ada rivalitas internal terkait siapa yang bakal diusung sebagai calon pendamping Jokowi.
Sebelum kasus dugaan penodaan agama meledak, survei menyebutkan Ahok-lah yang menjadi favorit cawapres Jokowi. Kimiawi politik Ahok dan Jokowi juga sudah lama terbangun. Seandainya Ahok menang di pengadilan sekalipun, label penista agama sudah telanjur disematkan. Siapa pun akan berhitung meminang Ahok sebagai cawapres di 2019 ketika stigma negatif tersebut sudah menempel di keningnya.
Jika benar aksi-aksi massa anti-Ahok tidak bertujuan akhir untuk menjatuhkan pemerintah, mengapa respons Jokowi pasca-demonstrasi besar 4/11 terkesan berlebihan? Apa strategi di balik manuver Jokowi roadshow ke ormas-ormas Islam, elite-elite politik, TNI dan polisi? Miftah Sabri, Co-founder Selasar.com, menyoroti hilangnya ''kejokowian'' seorang Jokowi pasca-4/11. Orisinalitas Jokowi tertelan oleh gemuruh politik elite, tenggelam oleh parade kuasa yang mengungulkan safari politik penuh drama.
Kekuatan Jokowi terletak pada kemampuannya untuk tidak menjaga jarak dengan rakyat. Ketika ada persoalan pelik, respons yang ditunggu publik adalah Jokowi ''mengadu'' kepada rakyat, bukan malah bersafari politik dengan elite. Tentu tak salah silaturrahmi dengan elite, tapi dosisnya harus terukur. Misalnya, pertemuan awal dengan Prabowo Subianto dan tokoh ulama moderat direspons positif. Namun, ketika diadakan secara maraton, dengan mempertontonkan secara teatrikal makan semeja dengan tokoh-tokoh politik yang seabrek jumlahnya, publik mulai menanyakan ke mana nilai-nilai ''kejokowian'' yang mereka kenal selama ini?
Untuk memahami langkah Jokowi, kosmologi Jawa mengenai pasemon politik bisa membantu memahami safari politik tersebut. Secara simbolik safari itu bertujuan ganda. Pertama, sebagai psywar kepada mereka yang bermimpi di siang bolong bahwa Presiden masih mendapat dukungan kuat. Kedua, safari politik dengan banyak elite tersebut terkesan ingin mengekskomunikasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Publik mudah menangkap siapa aktor politik yang dimaksud Jokowi sebagai penunggang aksi, tanpa harus disebut. Tak perlu ber-IQ tinggi untuk mampu membaca mengapa ''tinggal'' SBY yang tak jua diajak minum teh di beranda istana.
Namun jika safari elite ini diadakan secara berlebihan, masalah utama alasan aksi-aksi anti-Ahok terus terjadi tak kunjung terbenahi. Dalam leksikon gerakan sosial, aksi-aksi tersebut sukses memanfaatkan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), mampu memobilisasi sumber daya (resource mobilization), dan melakukan framing ke isu atau sentimen agama. Keberhasilan mengintegrasikan ketiga unsur inilah yang menyebabkan aksi-aksi anti-Ahok ini bertahan dan mampu mendatangkan partisipan dalam jumlah besar.
Respons pemerintah sebelum ini terkesan ad hoc dan ambigu. Ketika Presiden enggan menemui Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, dan pimpinan aksi lainnya di istana pada 4/11, pesan yang ingin disampaikan adalah Jokowi tak ingin memberi legitimasi politik kepada gerakan tersebut. Namun, ketika Ahok ditetapkan sebagai tersangka pasca 4/11 oleh kepolisian, kita sulit menepis dugaan bahwa negara tunduk, atau setidaknya mengalah pada aksi-aksi jalanan.
Tujuan politiknya memang mudah ditebak. Dengan menersangkakan Ahok, diharapkan gerakan massa anti-Ahok bisa dinetralkan. Anasir-anasir radikal diharapkan bisa dipisahkan dengan mereka yang terluka dengan pernyataan Ahok tapi bersedia menunggu proses hukum berlangsung tanpa turun ke jalan. Terbukti asumsi ini meleset. Ibarat dikasih hati minta jantung, para pemimpin aksi menuntut penahanan Ahok, bahkan mereka mampu mendatangkan massa lebih banyak pada 2/12. Alih-alih mensterilkan kubu anti-Ahok dari elemen radikal, aksi 2/12 justru memantik massa lebih besar.
Reaksi polisi dengan menangkap beberapa orang yang dituduh berbuat ''makar sebagai sebuah permufakatan'' pada Jumat pagi menjelang aksi 2/12 juga berisiko. Pertama, orang-orang yang ditangkap tak punya basis massa riil dan kapasitas untuk menggulingkan pemerintah. Kedua, aksi penangkapan tersebut dapat mengingatkan trauma pada masa Orde Baru.
Satu-satunya alasan taktis mengamankan mereka adalah agar aksi besar pada 2/12 bisa diisolasi dari tokoh-tokoh yang bisa menyulut api dalam sekam. Kali ini ''perjudian'' taktik itu terbukti. Tokoh-tokoh yang dianggap mampu membakar aksi massa absen dalam perhelatan aksi massa terbesar pasca-Orde Baru. Tapi terkesan polisi telah menghidupkan pasal karet yang telah lama mati.
Namun, drama 2/12 tak berhenti di sini. Kehadiran Jokowi pada aksi 2/12 dengan mendengarkan khotbah yang disampaikan Rizieq Shibab dan mengikuti salat Jumat itu bisa dibaca dari dua sisi mata uang yang sama. Pertama, kehadiran Jokowi tersebut menunjukkan kembalinya nilai-nilai ''kejokowian'' yang pernah hilang. Jokowi yang rendah hati dan sudi mendatangi rakyatnya sendiri. Karena itu, Jokowi rela mengabaikan ancaman teror terhadapnya yang disampaikan intelijen.
Ibarat gol di masa injury time, publik mengapresiasi langkah Jokowi untuk menurunkan tensi yang memanas dan membuktikan bahwa Jokowi figur yang berani mengambil risiko. Ia berhasil mencuri panggung dan membungkam mereka —termasuk yang hadir dalam aksi massa tersebut— yang selama ini nyinyir terhadapnya. Ibarat bermain catur, Jokowi memainkan langkah kuda yang mematikan tepat di jantung pertahanan lawan.
Kedua, kehadiran Jokowi juga bisa dibaca sebagai meningkatnya daya tawar Rizieq Shihab dan pemimpin aksi lainnya. Beberapa tokoh ormas dan politik yang sebelumnya meminta umatnya tidak menghadiri 2/12 menjadi kikuk sendiri karena bukan hanya saran mereka diabaikan pengikutnya, melainkan orang nomor satu di pucuk pemerintahan malah hadir di detik-detik terakhir.
Kehadiran Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Panglima TNI, dan elite-elite pemerintah yang lain tak bisa dilepaskan dari besarnya jumlah massa yang membuat seorang Rizieq mampu mengapitalisasinya sebagai daya tawar berharga, bukan hanya terhadap pemerintah, melainkan juga punya implikasi bagi politik islamis ke depan.
Jokowi bukan tidak menyadari sisi lain dari kehadirannya tersebut. Pada saat menyampaikan pidato singkat tapi padat, Jokowi terlihat tidak menyapa atau menghampiri Rizieq. Jokowi terkesan tak ingin memberi legitimasi politik kepada Rizieq. Ketika Rizieq ''merangsek'' untuk mendekati Jokowi, Wiranto terlihat menghalanginya. Secara simbolik, determinasi Jokowi untuk tidak ''bersentuhan'' dengan Rizieq, meski di saat satu panggung, merupakan usaha maksimal yang bisa dilakukan.
Terlepas dari keberhasilan menghindar dari ''penetrasi'' Rizieq, kehadiran Jokowi dalam aksi 2/12 telah memberikan ''panggung'' pada Rizieq. Memang bukan kesalahan mutlak Jokowi. Jari telunjuk layak kita arahkan kepada elite-elite politik dan militer yang selama ini telah bermain api dengan kelompok-kelompok semacam itu. Sumber : gatra.com
Terimakasih,,
Menjelang dua tahun pemerintahan pascapelantikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat banyak durian runtuh. Kepuasan publik mencapai rekor tertinggi hingga 68%, elektabilitas sebagai calon Presiden jika pemilu diadakan pada saat survei juga membumbung tinggi (Indikator, Agustus 2016). Presiden Jokowi juga sukses mengubah peta di tingkat elite dari koalisi minimalis menjadi maksimalis dengan dukungan 69% kursi di parlemen.
Siapa sangka, dalam hitungan singkat, terjadi peristiwa luar biasa yang potensial menggerus dukungan massa ke Jokowi. Awalnya dari keseleo lidah seorang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta yg dikenal sebagai sohib Jokowi. Aksi-aksi massa dalam jumlah jumbo terlihat hanya menjadikan Ahok sebagai sasaran antara. Jokowi mulai terkena getah akibat kemarahan publik terhadap Ahok.
Instabilitas politik dalam beberapa pekan terakhir potensial menurunkan approval rating Jokowi. Tujuan besarnya memang ''sekadar'' melemahkan political personal Jokowi, bukan menjatuhkannya. Mereka yang terlintas menggulingkan pemerintah itu bagaikan bermimpi di siang bolong. Secara politik Jokowi masih kuat. TNI dan polisi, secara umum, masih sangat loyal. Selain itu, ide penggulingan Presiden juga tak mendapat dukungan publik secara memadai.
Jika upaya melemahkan (making a dent) Jokowi berhasil, citra beliau pada 2019 bisa jadi tak sementereng sekarang. Pemilu 2019 akan lebih kompetitif, dan partai-partai tidak semuanya sudi mengantri dukungan padanya. Jika approval rating turun, elektabilitas partai-partai pendukung Jokowi, terutama PDI-P dan Golkar, bisa saja terkena dampaknya. Ingat, pemilu legislatif dan presiden diadakan secara serempak, sehingga memungkinkan coattail effect punya pengaruh lebih kuat terhadap partai yang mengusung seorang capres.
Uniknya lagi, upaya semacam ini tidak dilakukan di parlemen, melainkan justru melalui politik mobokrasi. Ini bisa dimaklumi karena hampir mustahil menggoyang Jokowi di parlemen pada saat dukungan politik formal mencapai lebih dari dua pertiga kursi di DPR. Pada saat yang sama, ada rivalitas internal terkait siapa yang bakal diusung sebagai calon pendamping Jokowi.
Sebelum kasus dugaan penodaan agama meledak, survei menyebutkan Ahok-lah yang menjadi favorit cawapres Jokowi. Kimiawi politik Ahok dan Jokowi juga sudah lama terbangun. Seandainya Ahok menang di pengadilan sekalipun, label penista agama sudah telanjur disematkan. Siapa pun akan berhitung meminang Ahok sebagai cawapres di 2019 ketika stigma negatif tersebut sudah menempel di keningnya.
Jika benar aksi-aksi massa anti-Ahok tidak bertujuan akhir untuk menjatuhkan pemerintah, mengapa respons Jokowi pasca-demonstrasi besar 4/11 terkesan berlebihan? Apa strategi di balik manuver Jokowi roadshow ke ormas-ormas Islam, elite-elite politik, TNI dan polisi? Miftah Sabri, Co-founder Selasar.com, menyoroti hilangnya ''kejokowian'' seorang Jokowi pasca-4/11. Orisinalitas Jokowi tertelan oleh gemuruh politik elite, tenggelam oleh parade kuasa yang mengungulkan safari politik penuh drama.
Kekuatan Jokowi terletak pada kemampuannya untuk tidak menjaga jarak dengan rakyat. Ketika ada persoalan pelik, respons yang ditunggu publik adalah Jokowi ''mengadu'' kepada rakyat, bukan malah bersafari politik dengan elite. Tentu tak salah silaturrahmi dengan elite, tapi dosisnya harus terukur. Misalnya, pertemuan awal dengan Prabowo Subianto dan tokoh ulama moderat direspons positif. Namun, ketika diadakan secara maraton, dengan mempertontonkan secara teatrikal makan semeja dengan tokoh-tokoh politik yang seabrek jumlahnya, publik mulai menanyakan ke mana nilai-nilai ''kejokowian'' yang mereka kenal selama ini?
Untuk memahami langkah Jokowi, kosmologi Jawa mengenai pasemon politik bisa membantu memahami safari politik tersebut. Secara simbolik safari itu bertujuan ganda. Pertama, sebagai psywar kepada mereka yang bermimpi di siang bolong bahwa Presiden masih mendapat dukungan kuat. Kedua, safari politik dengan banyak elite tersebut terkesan ingin mengekskomunikasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Publik mudah menangkap siapa aktor politik yang dimaksud Jokowi sebagai penunggang aksi, tanpa harus disebut. Tak perlu ber-IQ tinggi untuk mampu membaca mengapa ''tinggal'' SBY yang tak jua diajak minum teh di beranda istana.
Namun jika safari elite ini diadakan secara berlebihan, masalah utama alasan aksi-aksi anti-Ahok terus terjadi tak kunjung terbenahi. Dalam leksikon gerakan sosial, aksi-aksi tersebut sukses memanfaatkan struktur kesempatan politik (political opportunity structure), mampu memobilisasi sumber daya (resource mobilization), dan melakukan framing ke isu atau sentimen agama. Keberhasilan mengintegrasikan ketiga unsur inilah yang menyebabkan aksi-aksi anti-Ahok ini bertahan dan mampu mendatangkan partisipan dalam jumlah besar.
Respons pemerintah sebelum ini terkesan ad hoc dan ambigu. Ketika Presiden enggan menemui Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, dan pimpinan aksi lainnya di istana pada 4/11, pesan yang ingin disampaikan adalah Jokowi tak ingin memberi legitimasi politik kepada gerakan tersebut. Namun, ketika Ahok ditetapkan sebagai tersangka pasca 4/11 oleh kepolisian, kita sulit menepis dugaan bahwa negara tunduk, atau setidaknya mengalah pada aksi-aksi jalanan.
Tujuan politiknya memang mudah ditebak. Dengan menersangkakan Ahok, diharapkan gerakan massa anti-Ahok bisa dinetralkan. Anasir-anasir radikal diharapkan bisa dipisahkan dengan mereka yang terluka dengan pernyataan Ahok tapi bersedia menunggu proses hukum berlangsung tanpa turun ke jalan. Terbukti asumsi ini meleset. Ibarat dikasih hati minta jantung, para pemimpin aksi menuntut penahanan Ahok, bahkan mereka mampu mendatangkan massa lebih banyak pada 2/12. Alih-alih mensterilkan kubu anti-Ahok dari elemen radikal, aksi 2/12 justru memantik massa lebih besar.
Reaksi polisi dengan menangkap beberapa orang yang dituduh berbuat ''makar sebagai sebuah permufakatan'' pada Jumat pagi menjelang aksi 2/12 juga berisiko. Pertama, orang-orang yang ditangkap tak punya basis massa riil dan kapasitas untuk menggulingkan pemerintah. Kedua, aksi penangkapan tersebut dapat mengingatkan trauma pada masa Orde Baru.
Satu-satunya alasan taktis mengamankan mereka adalah agar aksi besar pada 2/12 bisa diisolasi dari tokoh-tokoh yang bisa menyulut api dalam sekam. Kali ini ''perjudian'' taktik itu terbukti. Tokoh-tokoh yang dianggap mampu membakar aksi massa absen dalam perhelatan aksi massa terbesar pasca-Orde Baru. Tapi terkesan polisi telah menghidupkan pasal karet yang telah lama mati.
Namun, drama 2/12 tak berhenti di sini. Kehadiran Jokowi pada aksi 2/12 dengan mendengarkan khotbah yang disampaikan Rizieq Shibab dan mengikuti salat Jumat itu bisa dibaca dari dua sisi mata uang yang sama. Pertama, kehadiran Jokowi tersebut menunjukkan kembalinya nilai-nilai ''kejokowian'' yang pernah hilang. Jokowi yang rendah hati dan sudi mendatangi rakyatnya sendiri. Karena itu, Jokowi rela mengabaikan ancaman teror terhadapnya yang disampaikan intelijen.
Ibarat gol di masa injury time, publik mengapresiasi langkah Jokowi untuk menurunkan tensi yang memanas dan membuktikan bahwa Jokowi figur yang berani mengambil risiko. Ia berhasil mencuri panggung dan membungkam mereka —termasuk yang hadir dalam aksi massa tersebut— yang selama ini nyinyir terhadapnya. Ibarat bermain catur, Jokowi memainkan langkah kuda yang mematikan tepat di jantung pertahanan lawan.
Kedua, kehadiran Jokowi juga bisa dibaca sebagai meningkatnya daya tawar Rizieq Shihab dan pemimpin aksi lainnya. Beberapa tokoh ormas dan politik yang sebelumnya meminta umatnya tidak menghadiri 2/12 menjadi kikuk sendiri karena bukan hanya saran mereka diabaikan pengikutnya, melainkan orang nomor satu di pucuk pemerintahan malah hadir di detik-detik terakhir.
Kehadiran Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Panglima TNI, dan elite-elite pemerintah yang lain tak bisa dilepaskan dari besarnya jumlah massa yang membuat seorang Rizieq mampu mengapitalisasinya sebagai daya tawar berharga, bukan hanya terhadap pemerintah, melainkan juga punya implikasi bagi politik islamis ke depan.
Jokowi bukan tidak menyadari sisi lain dari kehadirannya tersebut. Pada saat menyampaikan pidato singkat tapi padat, Jokowi terlihat tidak menyapa atau menghampiri Rizieq. Jokowi terkesan tak ingin memberi legitimasi politik kepada Rizieq. Ketika Rizieq ''merangsek'' untuk mendekati Jokowi, Wiranto terlihat menghalanginya. Secara simbolik, determinasi Jokowi untuk tidak ''bersentuhan'' dengan Rizieq, meski di saat satu panggung, merupakan usaha maksimal yang bisa dilakukan.
Terlepas dari keberhasilan menghindar dari ''penetrasi'' Rizieq, kehadiran Jokowi dalam aksi 2/12 telah memberikan ''panggung'' pada Rizieq. Memang bukan kesalahan mutlak Jokowi. Jari telunjuk layak kita arahkan kepada elite-elite politik dan militer yang selama ini telah bermain api dengan kelompok-kelompok semacam itu. Sumber : gatra.com
Terimakasih,,
Posting Komentar untuk "JOKOWI MENGAMBIL LANGKAH SERIBU..."